Oleh : Nur Kholis

“Horizon bacaan yang luas, pengalaman hidup yang beragam, persahabatan dengan berbagai kalangan, ketajaman memahami informasi menjadikan seseorang bersikap moderat dan toleran. Sebaliknya, sikap radikal dan intoleran cenderung lahir karena kondisi kurang bacaan, kurang pergaulan, kebergantungan dan kemanjaan intelektual. Selain juga, tentu karena ngopinya hanya di warung sebelah, pakai produk kopi intan lagi. 5 Ramadlan 1442 H/17 April 2021 M,” mengutip kata Prof. Maftukhin (Rektor IAIN Tulungagung).

Isu terorisme dan radikalisme mulai viral pasca peristiwa pembajakan pesawat Boeng 737 yang kemudian ditabrakkan ke salah satu gedung kembar WTC, New York, 11 September 2001. Selama 17 tahun itulah perbincangan, diskusi ilmiah, dan penelitian-penelitian dilakukan untuk menata ulang mindset kehidupan beragama yang moderat dan toleran di era masyarakat multikultural. 

Pasca peristiwa itulah, Islam menjadi pusat objek kajian, seakan-akan Islam memberikan pedoman, ajaran, dan membolehkan melakukan kekerasan. Islam, sampai saat ini mau tidak mau telah menjadi “terdakwah” korban yang dipersalahkan (blamming the victim). Meskipun, sebetulnya sebagian ahli mempertanyakan, siapa otak dibalik ini semua? Apakah betul kelompok di internal umat Islam? Ataukah kelompok Barat?

Kelompok teroris dan radikal, kemudian menjadi musuh bersama Negara-negara di seluruh dunia, lembaga-lembaga, dan organisasi kemasyarakatan dan keagamaan. Negara-negara maju bersatu menginisiasi agara negara-negara sedang berkembang, lembaga-lembaga, dan organisasi di berbagai negara terlibat dalam memerangi isu terorisme dan radikalisme melalui pendanaan hibah dan/atau mandiri. Akibatnya, di negara-negara sedang berkembang, lembaga-lembaga, dan organisasi terjadi panas-dingin saling menuduh dan mengklaim paling toleran dan moderat. Sebagian ada yang menjadi tertuduh, menuduh, membela, dan diam.  

Berbagai penelitian telah dilakukan, misalnya tentang; sejarah pemikiran dan relasi kelompok-kelompok teroris dan kaum radikal; isu terorisme, radikalisme, toleransi, deradikalisasi, moderasi beragama, dan redefinisi toleransi beragama di era masyarakat disrupsi, dll. Lembaga-lembaga dan organisasi, bahkan negara-negara sedang berkembang sedang menari di atas kendang negara-negara maju! 

Tidak mudah memang, untuk menyederhanakan bahwa, isu ini adalah Islam vs Barat, negara maju vs negara berkembang, barat vs timur, liberalisme vs sosialisme, dan ahlussunnah vs wahabi. Isu terorisme dan radikalisme sudah sangat komplek, mau tidak percaya bahwa dibalik semuanya adalah islam faktanya memang iya, banyak orang-orang Islam yang “terlibatkan” di dalamnya.  

Sikap apologi telah banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam dengan mendasarkan pada kajian tujuan syariah islam (maqashid al-syari’ah); dan, bahkan “menuduh” kelompok tertentu di Islam-lah pelakunya. Lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi yang berafiliasi bersatu padu dengan Negara untuk memerangi, baik pada level wacana (discour), maupun implementasi di lapangan. Oh, radikalisme, intoleransi, moderasi, dan toleransi menjadi “diri yang sangat seksi”. 

Saat ini, kita semua berada pada masa di mana kebenaran dan ketidak-benaran adalah subyektif. Kebenaran bisa menjadi salah dimata negara, kelompok, lembaga, atau orang kuat. Dan begitu pula sebaliknya, ketidak-benaran bisa menjadi benar pada orang dan kelompok lainnya. Itulah era postmodern, kebenaran dan ketidak-benaran tidak lagi tunggal dan hanya milik orang/lembaga tertentu.  

Oleh karena itu, seyogyanya kita dapat bersikap proporsional. Kita bisa radikalisme yang proporsional, intoleransi yang proporsional. Dan, sebaliknya toleransi yang proporsional dan moderat yang proporsional. Moderat yang leberal akan berujung radikal, toleransi yang berlebihan juga dapat berujung intoleransi. Jika bisa bertoleransi keluar, mengapa intoleran ke dalam? Bukankah sikap proporsional itu telah dincontohkan Nabi saw? Dan dikuatkan dalam QS al-Baqarah/2: 143. 

Kata “washat” dalam ayat tersebut dapat bermakna; baik sesuai obyeknya (QS al-Isyra/17: 29), tengah (QS al-Isyra/17: 110), adil (QS al-Nisa/4: 135). Nabi SAW telah memberikan teladan berdakwah, baik pada fase Makkah maupun Madinah dengan tiga prinsip di atas. Pada saat fase Makkah, Nabi SAW tampak keras dan intoleransi kepada orang-orang kafir, tetapi beliau juga menunjukkan kasih sayang dan adil, misalnya kasus pelemparan kotoran hewan oleh orang-orang Thoif kepada Nabi SAW. 

Begitu pula halnya, ketika fase Madinah, beliau menunjukkan sikap adil, tengah, dan teladan kebaikan pada orang-orang Yahudi, Nashrani. Nabi SAW tidak menujukkan permusuhan, justru memprakarsai perdamaian malalui perjanjian piagam Madinah untuk menjaga kebaikan, keadilan bagi semua orang. 

Setidaknya ada tiga hal yang perlu dimiliki agar kita dapat menjadikan diri sebagai wasit (syahid) yang baik, adil, dan tengah (proporsional), yaitu; pengetahuan, sikap, tindakan (perilaku). Pertama, pengetahuan. Membaca aneka ragam bidang pengetahuan dan sumbernya akan menjadikan wawasan kita menjadi komprehensif. Ingat tidak ada pengetahuan dan sumbernya yang tunggal.  

Berdiskusi dengan berbagai kalangan dan latar belakang sosial, ekonomi, dan pengetahuan juga penting untuk mengasah pengetahuan yang mendalam. Merefleksikan pengetahuan agar menjadi pemahaman yang baik, utuh, dan bijak. Pengetahuan dan pemahaman haruslah baik dan menghasilkan sikap yang bijak terhadap suatu obyek. Memahami obyek secara utuh, dan mendalam diperlukan agar pengetahuan bermanfaat dan mencerahkan bagi diri dan orang lain. 

Kedua, sikap. Pengetahuan yang baik, utuh, dan mendalam akan menjadikan sikap seseorang menjadi baik dan bijak dalam koridor kebenaran. Sikap merupakan pengejawantahan dari pengetahuan dan pemahaman seseorang. Jika pengetahuan dan pemahamannya benar, maka sikap seseorang juga akan benar. Jika pengetahuan dan pemahaman seseorang utuh, maka akan menghadirkan sikap bijak.  

Begitu juga halnya, jika pengetahuan dan pemahaman seseorang mendalam, maka sikapnya tidak mudah menyalahkan orang lain dan/atau merasa paling benar. Kebenaran bersikap dalam setiap obyek mejadikan seseorang disegani dan teladan bagi yang lainnya dan mudah dipercaya. Misalnya kebenaran sikap Nabi SAW (saat masih remaja), ketika terjadi percekcokan siapa/suku apa yang berhak memindahkan hajar aswad saat orang-orang Arab membangun kembali Ka’bah. 

Ketiga, perilaku/tindakan. Perilaku atau tindakan merupakan aktualisasi dari sikap. Perilaku sadar selalu didasarkan pada pertimbangan atau rasionalisasi pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek. Rasionalisasi pengetahuan/pemahaman melahirkan sikap, dan akhirnya sikap menghasilkan perilaku/tindakan. Sementara, tindakan tidak sadar merupakan aktualisasi yang bersifat reflek atau rekasioner.  

Fanatisme yang tidak proporsional terhadap obyek, organisasi, lembaga dapat menjadikan tindakan seseorang bersifat reaksioner. Emosi, suka dan/atau tidak suka seseorang terhadap lainnya yang tidak proporsional dapat menjadikan tindakan/perilaku seseorang tidak benar, tidak baik, dan tidak bijak. Kebijakan tindakan seseorang akan berkontribusi terhadap kebaikan semua. Oleh karena itu, membangun kesadaran pengetahuan, pemahaman, sikap, dan tindakan yang benar dan baik adalah kebaikan pula. 

*Penulis adalah Dosen IAIN Tulungagung.