telusur.co.id - Surabaya adalah kota multietnis, kota ini dihuni masyarakat dari berbagai daerah dan berbagai kebudayaan sehingga membentuk mozaik keindonesiaan yang unik.
Bahkan pada sensus yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1930 diketahui bahwa lebih dari 50 persen penduduk kota Surabaya pada waktu itu lahir di kabupaten-kabupaten di luar kota Surabaya, seperti Sidoarjo, Lamongan, Gresik, Mojokerto, Jombang, Tuban serta kabupaten-kabupaten lain di Jawa Timur (Basundoro, 2013: 94).
Suku Jawa (83,68%) adalah suku mayoritas di Surabaya, tetapi Surabaya juga menjadi tempat tinggal berbagai suku bangsa di Indonesia, termasuk suku Madura (7,5%), Tionghoa (7,25%), Arab (2,04%), dan sisanya merupakan suku bangsa lain seperti Bali, Batak, Bugis, Manado, Minangkabau, Dayak, Toraja, Ambon, dan Aceh atau warga asing.
Tanggal 16-27 Juli 2021 telah dilakukan penelitian oleh Nindy Puspitasari, Diba Sofinadya, dan Sulthoni Edgar Diponegoro sebagai salah satu tim PKM UNESA yang lolos didanai Dikti dengan judul “Strategi Komunikasi Antarbudaya Dalam Membangun Masyarakat Multikulturalisme (Studi Kasus di Surabaya”.
Mereka tertarik untuk melakukan penelitian di kota Surabaya. Karena kota Surabaya memiliki berbagai macam budaya dan dalam proses interaksi sosial, dikatakan menarik bila lingkungan suatu masyarakat dihuni oleh berbagai kelompok budaya yang heterogen.
“Sehingga masyarakat dapat memahami dan mengerti unsur apa saja yang seharusnya dibangun untuk menciptakan suatu hubungan yang baik dan mewujudkan masyarakat yang harmonis khususnya dalam hal komunikasi antar budaya,” ujar Sulthoni dalam siaran persnya diterima. Sabtu, (22/8/2021).
Ia menjelaskan, pelaksanaan penelitian yang dilakukan di masa PPKM akibat pandemi Covid-19 ini tentunya dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat yakni memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Bahkan pelaksanaan penelitian dengan salah satu narasumber ada juga yang dilakukan secara daring dirumah masing-masing.
“Dalam penelitian tersebut, melibatkan empat etnik yang ada di Surabaya yang sesuai dengan tujuan penelitian. Keempat entik tersebut diantaranya yakni etnik Jawa, etnik Madura, etnik Tionghoa, dan etnik Arab,” ungkap Sulthoni.
Lebih lanjut, adapun hal-hal yang dilakukan selama pelaksanaan penelitian berlangsung yakni melakukan observasi di wilayah Ampel dan Tambakbayan tentang interaksi yang terjalin antarbudaya dalam kehidupan sehari-hari.
“Dilanjutkan dengan melakukan wawancara kepada informan penelitian yang terdiri dari 3 informan, M. Khotib Ismail (Ketua RW. 02 Ampel dan Ketua Kelompok Sadar Wisata), yang mewakili etnik Jawa dan etnik Arab.
“Selanjutnya, Bustomi Syahputra (warga Wonokusumo dan juga aktif di organisasi IKAMRA) yang mewakili etnik Madura, dan Lim Kiem Hau alias Gepeng (warga Tambak Bayan dan Pemerhati Kebudayaan etnik Tionghoa) yang mewakili etnik Tionghoa,” jelasnya.
Dari penelitian tersebut, dihasilkan strategi komunikasi antar budaya yang terjadi di Surabaya, di antaranya melalui kegiatan keagamaan dan non keagamaan, dengan mengumpulkan dan melibatkan antar budaya, menyesuaikan dan menggunakan bahasa dan budaya arek Suroboyo sebagai pemersatu, serta dengan menghargai dan menerima keragaman budaya.
“Dengan begitu, maka diharapkan Surabaya dapat terbebas dari konflik yang dapat memecah belah antar etnis sehingga dapat tercipta harmonisasi kehidupan di tengah keberagaman budaya yang ada,” tutupnya. (ari)