Oleh : Rizal Riskianto
Kasus anjloknya harga garam ketika panen datang merupakan fenomena yang menjadi perhatian seluruh rakyat Indonesia khususnya masyarakat yang bekerja sebagai petani garam.
Anjloknya harga garam yang sangat tajam bahkan ke angka 300 ribu per ton dari harga normal 1,5 juta-3 juta per ton merupakan kenyataan pahit yang harus dialami para petani garam yang terancam merugi parah dan tak mampu mencukupi kehidupan sehari harinya.
Kasus anjloknya harga garam ini dikarenakan stok garam di dalam negeri melebihi kapasitas yg di butuhkan sehingga jika jumlah barang melebihi kapasitas maka harganya akan turun dan terancam tidak laku.
Selain harga garam anjlok, garam rakyat juga sulit diserap dan akhirnya tertimbun sehingga akan menyusut, yang berarti merugikan rakyat lagi.
Seperti dilansir dalam republika.co.id, Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Brahmantya Satyamurti Poerwadi mengungkapkan stok garam produksi 2018 per 4 juli 2019 masih ada sebanyak 435.068,86 ton. Jumlah tersebut berasal dari garam rakyat 237.068,86 ton dan dari PT Garam 198 ribu ton.
Sedangkan garam produksi tahun 2019 per 4 juli 2019 totalnya tercatat berjumlah 13.664,21 ton yang berasal dari garam rakyat sebanyak 3.164,21 ton dan PT Garam 10.500 ton. Brahmantya saat dihubungi Republika, Kamis (04/7/2019).
Brahmantya juga menambahkan bahwa, Kemenperin seharusnya sudah menyerap sebanyak 1.128.500 ton selama periode Juli 2018-Juni 2019.
Namun saat rapat bersama dengan Kementerian Koordinator Perekonomian, disebutkan penyerapan garam hingga periode tersebut baru mencapai 962.220 ton. Sehingga stok garam masih tersisa 166.280 ton.
Perlu diketahui berdasarkan data BPS bahwa import realisasi garam tahun 2019 mencapai 2.6 juta ton.
Selain impor yang diduga terlalu banyak , anjloknya harga garam juga dikarenakan garam dikeluarkan dari Perpres 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Sehingga tidak ada harga pokok produksi yang jelas mengenai harga garam di pasaran.
Maka dari itu pemerintah sebagai pengambil keputusan lebih memperhatikan nasib petani garam. Rakyat berharap adanya pemerintah.adalah untuk mensejahterakan rakyat bukan menjadi bagian dari penjajahan ekonomi yang ikut menjerat rakyat yang sudah menderita sejak penjajahan oleh Belanda.
Alternatif solusi mengembalikan garam kedalam Perpres 71 tahun 2015 sangat bisa dilakukan pemerintah dan mengontrol kembali jumlah import garam karena stok garam di petani garam masih melimpah.
*Penulis adalah Bendahara Umum Asosiasi Pemuda Maritim Indonesia Cabang Sampang.



