Oleh : Ghufron Almakki

Corona Virus Disease 2019 disingkat Covid-19 belakangan ini meresahkan masyarakat Indonesia ataupun global, tapi perlu kita ketahui bahwa Covid-19 ini sudah ada tahun 2019 dan diperkirakan sudah ada di Indonesia sejak awal tahun 2020. 

Tapi saat negara-negara lain menutup akses masuk ke Negaranya pemerintah Indonesia malah mengundang wisatawan asing ke Indonesia dengan menggelontorkan dana untuk mensubsidi maskapai penerbangan dengan tujuan agar wisata tidak melemah dan tidak berdampak terhadap melemahnya ekonomi.

Memang sampai dengan saat ini nyatanya pemerintah hanya terfokus pada ekonomi saja daripada penanganan terhadap kesehatan masyarakat. Hal tersebut terbukti saat pemerintah menggelontorkan dana penanggulangan Covid-19 sebesar Rp. 405,1 triliun. 

Dari gelontoran dana tersebut lebih dari setengahnya dialokasikan terhadap ekonomi terlebih ekonomi makro. Hanya sebagian kecil saja yang dialokasikan terhadap kesehatan, padahal kebutuhan yang mendesak dan harus segera di tangani adalah terkait dengan kesehatan.

Sementara itu presiden mulanya berencana akan menerapkan darurat sipil yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 1959 mengenai keadaan darurat yang sebenarnya mengacu kepada keamanan dan gangguan terhadap stabilitas Negara. 

Hal yang paling sesuai dilakukan berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 mengenai karantina kesehatan, karena terdapat adegium hukum yang berbunyi “Lex Spesialis derogate legi generalis” yakni hukum yang khusus mengesampingkan yang umum.

Kemudian pada tanggal 30 Maret 2020 pemerintah mengeluarkan 3 pakaet aturan yakni Perpu Nomor 1 Tahun 2020 Mengenai Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem keuangan untuk penanganan Pandemic Corona.

Kedua, Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Darurat Kesehatan Masyarakat, dan ketiga Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 Tentang pembatasan sosial bersekala besar dalam rangka percepatan penanganan corona.

Tiga paket ini menjadi aturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 mengenai Karantina kesehatan, dalam hal ini terdapat beberapa macam karantina yakni karantina rumah, karantina, rumah sakit, karantina wilayah, dan Pembatasan sosial bersekala besar. dalam hal ini pemerintah mengambil Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam pasal 59 Ayat 3 Pembatasan Sosial Berskala Besar.

Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. peliburan sekolah dan tempat kerja; b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. 

Sementara untuk pelaksanaan teknis dari PSBB ini diatur dalam Peraturan Pemerintah  Nomor 21 Tahun 2020 tentang Tentang pembatasan sosial bersekala besar dalam rangka percepatan penanganan corona.

Dalam Peraturan Pemerintah tersebut tidak terdapat jaminan terhadap masyarakat. Karena dalam pasal 2 ayat 2 “PSBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektifitas, dukungan sumber daya, teknis oprasional, pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan”. 

Klausula yang terdapat dalam pasal 2 ayat 2 tersebut bersifat pertimbangan saja tidak mutlak harus dilakukan oleh pemerintah atau bersifat sunnah saja. 

Padahal dalam hal ini yang terdampak dan tidak mendapat sentuhan oleh gelontoran dana pemerintah adalah ekonomi mikro yang merujuk kepada masyarakat menengah kebawah yang tidak wajib diperhatikan oleh pemerintah terkait kebutuhannya terkait dengan pandemi Covid-19 ini.

Seharusnya sebagai wujud melidungi seluruh bangsa dan tumpah darah dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Pemerintah menerapkan karantina wilayah.

Karena dalam karantina wilayah covid-19 terus mengalami peningkatan dan perlu penangan khusus oleh pemerintah agar penderita covid-19 tidak semakin bertambah dan grafiknya tidak semakin pesat. 

Selain itu, dalam karantina wilayah masyarakat terjamin kebutuhannya karena dicukupi oleh pemerintah sehingga tidak perlu keluar rumah dan tidak ada alasan bagi masyarakat untuk keluar rumah.

Hal ini diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Karantina Kesehatan “selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Dengan demikian, pasti masyarakat akan patuh dan tetap bertahan didalam rumah.

Selain itu, dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020 Mengenai Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem keuangan untuk penanganan pandemi corona pasal 27 ayat 2 menyebutkan “…….. yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata ataupun pidana….”. 

Dalam ayat 3 juga menyebutkan “segala tindakan termasuk keputusan yang diambil erdasarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara”. 

Hal tersebut jelas sangatlah bermasalah walaupun perpu tersebut terbatas pada covid-19 saja. Mengingat dalam pendistribusian dana tersebut banyak yang tidak tepat sasaran sebagai contoh kasus century, dana bantuan tsunami Aceh. 

Jika hal tersebut tetap dibiarkan, maka tidak akan terdapat pertanggungjawaban dari pemerintah mengingat anggaran tersebut adalah uang masyarakat melalui pajak yang dibayarkan oleh masyarakat. Selain itu seringkali juga pejabat pemerintahan melakukan penyalahgunaan jawaban.

Bukankah dalam hukum bertujuan menciptakan keadilan, kepastian dan kemanfaatan?

“Salus Populi Suprema Lex” (Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi pada suaru negara).

*Penulis adalah Sekretaris Umum HMI UPN 2019-2020.